Kontroversi Royalti Batubara
Sekarang ini, para pengusaha
industry pertambangan batubara sedang mengalami kegelisahan dan kecemasan.
Pasalnya pemerintah mempunyai rencana untuk menaikkan besarnya royalty dan akan
mengenakan bea keluar (bk) terhadap komoditas batubara negara ini. Kebijakan
tersebut rencananya akan mulai diterapkan pada awal tahun 2014, yaitu januari
2014. Pemerintah membuat kebijakan ini rencananya bertujuan untuk menambah
pendapatan Negara, memajukan industry yang bernilai tambah batubara, dan untuk
menjamin pasokan batubara di dalam negeri.
Saat ini, royalty untuk komoditas
batubara yang telah dan sedang berlaku yaitu sebesar 6,5% untuk kelompok
pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan 13,5% untuk pemegang PKP2B
(Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Kebijakan yang diajukan
oleh pemerintah yaitu supaya royalty bagi IUP tidak berbeda jauh dengan PKP2B.
Saat ini tarif royalty yang berlaku masih tarif lama yakni 3% untuk batubara
kalori kurang dari 5100Kkal/Kg, 5% untuk batubara kalori antara
5100-6100Kkal/Kg, dan 7% bagi batubara berkalori lebih dari 6100Kkal/Kg. Dan
tarif royalty batubara yang akan dinaikkan sebesar 10% bagi batubara kalori
kurang dari 5100Kkal/Kg, 12% bagi batubara berkalori antara 5100-6100Kkal/Kg, dan
13,5% bagi batubara berkalori lebih dari 6100Kkal/Kg. Sedangkan untuk pengenaan
bea keluar, pemerintah belum menetapkan mekanisme dan besarannya. Beleid untuk
kebijakan tersebut masih digodok.
Fakta yang ada saat ini, industry
batubara di tanah air Indonesia ini sedang mengalami masalah terkait harga
ekspor yang turun drastis ‘anjlok’. Harga batubara yang pernah mencapai US$120
per ton kini hanya tinggal sekitar US$70 per ton. Tanpa kenaikan royalty dan
pengenaan bea keluar pun saat ini banyak pengusaha batubara yang kesusahan
bahkan gulung tikar alias menghentikan produksinya, khususnya perusahaan skala
kecil yang tak sanggup menutupi biaya operasional produksi.
Dengan kondisi semua itu,
menaikkan royalty dan pengenaan bea keluar justru membuat perusahaan batubara
mencari – cari akal untuk menghindarinya dan akibatnya bisa menimbulkan
maraknya penambangan batubara illegal. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada
tahun 2011 contohnya, menyebutkan total produksi batubara nasional sebesar 425
juta ton. Tetapi, data dari kementrian ESDM menyebutkan hanya 397 juta ton, ada
perbedaan sekitar 55 juta ton dengan arti sekitar Rp.3,5-5,5 triliun negara
kehilangan pendapatan. Jika kita lihat dari tujuan untuk menjamin pasokan dalam
negeri, faktanya kebutuhan domestic saat ini tidak sampai 20 % dari produksi
nasional sehingga pasokan itu pasti akan terjamin. Ekspor batubara memberikan
kontribusi devisa yang besar untuk negara dan merupakan penyelamat defisit
neraca perdagangan yang merupakan persoalan ekonomi terbesar negeri ini.
Dengan kondisi saat ini,
hilirisasi disektor pertambanganlah sebenarnya solusi masalahnya, termasuk
hilirisasi sektor batubara, bukan menaikkan royalty atau pengenaan bea keluar.
Ditakutkan hanya demi mengejar penerimaan negara dengan menaikkan royalty dan
pengenaan bea keluar membuat neraca perdagangan Indonesia semakin terancam.
Jika dilihat dari kehilangan penerimaan/pendapatan yang dialami Negara,
meningkatkan pengawasan terhadap industry pertambangan batubara akan lebih
bagus daripada mengenakan bea keluar.
1 komentar: